Jakarta - Operator telekomunikasi saat ini sedang
galau. Tak hanya di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia. Wajar saja,
sebab mereka sedang menghitung hari menuju lonceng kematiannya.
Setidaknya demikian yang tercermin jika melihat kekhawatiran para operator yang berjuang mati-matian agar tak tergerus para
over the top (OTT) semacam Google, Facebook dkk, dalam acara
"Resisting the Doomsday of Telco Players".Bisa dimaklumi kekhawatiran itu. Pasalnya, pertumbuhan
revenue dari operator di seluruh dunia saat ini sudah melambat, cenderung stagnan, bahkan beberapa sudah meluncur ke arah negatif.
Pertumbuhan
jumlah pelanggan ternyata tidak serta-merta mendongkrak performansi
keuangan, karena kecenderungan pendapatan per pelanggan atau ARPU
(average revenue per user) yang terus turun.
Upaya operator untuk mengkompensasi turunnya trafik suara, seraya meningkatkan trafik data dengan menawarkan paket tarif untuk
unlimited data access justru
menjadi bumerang. Karena ternyata hanya segelintir pelanggan yang
benar-benar memanfaatkan paket unlimited tersebut, sementara trafik yang
dihasilkan mendominasi sebagian besar jaringan.
Kehadiran OTT
player, yaitu para pemain dunia TI yang memiliki layanan berbasis
internet memperparah beban dari operator telko ini.
Sementara Google, Facebook, Apple dengan iTunes-nya, dan
internet based service lainnya, meraup untung dari iklan atau penjualan
digital goods, operator telko mati-matian berjibaku menghadapi lonjakan trafik data--dimana hal itu membutuhkan investasi yang tidak sedikit.
Padahal, mereka para operator, tidak secuil pun menikmati keuntungan yang dinikmati para OTT
player.
Contohnya, sesudah Apple meluncurkan iPhone 4s dengan fitur Siri,
terjadi pertumbuhan trafik data yang luar biasa di Amerika sana yang
disinyalir berasal dari 25 juta iPhone 4s yang terjual di daratan
Amerika saja.
Inilah yang disebut dengan fenomena
'Dumb Pipe' alias pipa jaringan penuh, tapi tidak ada
revenue yang dihasilkan.
Lalu
apa yang harus dilakukan oleh operator untuk menghindarkan diri dari
'kiamat kecil' ini? Setidaknya ada tiga jurus yang bisa dilakukan oleh
operator telko dalam hal ini.
Efisiensi BiayaHal
ini adalah jurus pertama yang wajib dilakukan untuk bertahan hidup.
Bentuknya bisa dengan melakukan kerjasama sama 'sharing network' dimana
sejumlah operator berbagi jaringan yang sama untuk melewatkan trafik
mereka. Dengan demikian beban biaya bisa dibagi-bagi.
Namun tentu saja ini perlu negosiasi
business to business (B2B)
yang tidak sederhana. Tapi model ini sudah mulai diterapkan di operator
telko di luar negeri, jadi harusnya sangat mungkin untuk diterapkan di
tanah air.
Langkah kedua yang mungkin adalah dengan
restrukturisasi tarif, dengan menghilangkan paket data unlimited.
Operator pasti akan kehilangan sejumlah kecil pelanggan dari langkah
ini, tapi akan menghemat sejumlah besar sumber daya bandwidth yang
harusnya bisa digunakan untuk kepentingan lain.
Revenue Sharing Kenyataan
bahwa OTT player menangguk untung di atas kesengsaraan operator tentu
merupakan suatu bentuk ketidakadilan. Perlu dibuat mekanisme dimana OTT
player juga berbagi keuntungan dengan operator yang ditungganginya.
Namun
hal ini tentu saja memerlukan intervensi dari regulator, terkait
peraturan-peraturan yang mengikat operator. Khusus untuk Indonesia, jika
pun aturan revenue sharing itu ada, tetap saja tidak akan menolong
operator, karena penghasilan OTT player dari pelanggan di negeri ini
masih sangat minim. Jadi yang mau dibagi pun kue nya kecil sekali.
Menjadi OTT PlayerDengan
memanfaatkan model cloud computing alias komputasi awan, operator bisa
mengeksploitasi infrastruktur yang dimilikinya, jaringan data, dan data
center, untuk berubah wujud menjadi OTT player dengan menyediakan
layanan berbasis internet.
Tentu saja ini tidak bisa dilakukan
sendiri. Operator harus menggandeng penyedia perangkat lunak untuk
bersama-sama menyediakan layanan cloud computing bagi
pelanggannya--layanan ini biasa dikenal dengan model
Software as a Services (SaaS).
Namun
sekali lagi, menjadi penyedia layanan SaaS bukanlah hal yang mudah
mengingat transformasi dari operator telko yang sekedar berurusan dengan
bandwidth. Tapi berhubung potensinya ada, jurus ketiga ini juga patut
dicoba.
Dalam bisnis, timbul tenggelamnya sebuah perusahaan
adalah hal biasa. Namun tentu saja kita sama-sama tidak berharap
terjadinya kematian massal terhadap operator telko, terlebih di negeri
ini. Karena fungsi mereka yang vital sebagai penyedia infrastruktur
untuk distribusi informasi dan juga fungsi strategis lainnya.
Semoga
saja para punggawa operator telko mampu memformulasikan strategi yang
paling tepat bagi mereka untuk mampu melalui tantangan ini dengan
selamat.